Senin, 28 Juli 2008

AKHLAQ

I. DASAR-DASAR HUKUM AKHLAQ

Al-Qur’an surah al-Ahzab (33) ayat 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا.
Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi-mu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.

A-Hadits :
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ.
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq
أَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. رواه أحمد
Keimanan yang paling sempurna dari seorang mukmin ialah mereka yang paling baik/bagus akhlaqnya.

II. PEMBAGIAN AKHLAQ
1. Akhlaq Mahmudah (الأخلاق المحمودة)
Yaitu ahklak yang terpuji, contohnya berbuat baik kepada ibu dan bapak, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Isra ayat 23 :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوْا إِلاَّ إِياَّهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً...
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia (Allah), dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak ...
2. Akhlaq Madzmumah (الأخلاق المذمومة)
Yaitu akhlak yang buruk, contohnya berkata-kata kasar atau membentak kepada ibu bapak, karena hal ini dilarang, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Isra pertengahan ayat 23 yang berbunyi :
... فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
… maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya (ibu dan bapak) perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya…

III. PENERAPAN AKHLAQ DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Terbagi kepada 4 (empat) bagian, yaitu :
Akhlaq terhadap Allah dan Rasul-Nya
Diwujudkan dengan pengamalan keimanan kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya (taqwa), di antara pengalamannya adalah :
a. Memurnikan keimanan kepada Allah dan tidak berbuat syirik.
b. Ikhlas beribadah kepada Allah, seperti mendirikan sholat dengan khusyuk, dan harus sesuai dengan tuntunan (contoh) dari Rasulullah SAW. (ikhlas lawannya riya).
Akhlaq terhadap orang tua dan keluargaDiwujudkan dengan berbuat baik kepada orang tua (ibu dan bapak) maupun terhadap keluarga lainnya, sebagaimana telah dicontohkan sebelumnya, sesuai firman Allah dalam surah al-Isra ayat 23. Sedangkan berbuat kepada keluarga

Jumat, 25 Juli 2008

HUKUMAN MATI, MENGAPA HARUS TAKUT?
Oleh Mohd. Abduh A. Ramly (Praktisi Hukum)

Pada malam Kamis (23 Juli 2008), dalam waktu yang bersamaan dua televisi nasional menyiarkan debat atau dialog yang bertemakan “hukuman mati di Indonesia”. TV1 yang meramu siarannya dengan cara perdebatan, sehingga seakan-akan pemirsa atau penonton televise, termasuk saya berkesimpulan “itu hanya debat kusir”, sementara di Metro TV lebih elegan dengan meramu pembicaran tersebut dengan dialogis. Penulis berpendapat sah-sah saja dalam era keterbukaan yang baru dinikmati oleh msyarakat Indonesia, setiap orang bebas mengeluarkan pendapat atau buah pikirannya, apalagi mereka yang mengaku mengantongi segudang ilmu, tentu akan lebih percaya diri (pede) lagi mengemukakan argumentrasi-argumentasi mereka di hadapan publik. Penulis tidak terlalu tertarik dengan issue-issue pro kontra tentang hukuman mati, karena yang ada di benak penulis, hukuman mati itu adalah suatu ketentuan hukum sudah ada dalam kitab pegangan penulis sebagai seorang muslim. Artinya suka atau tidak suka, hukuman mati itu harus dijalankan dan diterapkan bagi mereka yang “sangat pantas menerimahukam mati” yang diakibatkan atas perbuatan mereka sendiri.

Alasan Klasik.
Hukuman mati, memang banyak ditentang oleh negara-negara yang nota bene “mengaku” menerapkan sistem demokrasi yang moderen, karena mereka beralasan hukuman mati bertentangan hak asasi manusia (HAM). Sependapat dengan itu, di antara para pakar atau mungkin mengaku sebagai pembela HAM yang ada di Indonesia pun mengiyakan atau menyetujuinya. Sebab jika Indonesia tetap melaksanakan hukuman mati, maka nantinya Indonesia dianggap sebagai negara pelanggar HAM, karena melaksanakan hukuman, seakan-akan ajal seseorang ditentukan oleh negara (hukum). Memang menggelitik cara berpikir seperti ini, sebab hukuman mati bukan ditujukan kepada mereka yang tidak bersalah, tetapi pada hakekatnya ditujukan kepada mereka yang berbuat salah (pidana) yang menurut hukum telah sedemikian rupa melakukan pelanggaran tindak pidana yang hukumanya adalah hukuman mati, misalnya pembunuhan dengan sengaja dan berencana, bahkan melakukannya dengan sadis. Itupun melalui suatu proses pengadilan yang ekstra hati-hati, agar jangan sampai seorang hakim keliru dalam menjatuhkan putusannya, sehingga dalam hal ini diperlukan unsur “keyakinan hakim”. Di sisi lain, cara berpikir seperti ini seolah-olah memberi perlindungan kepada mereka yang melanggar HAM, sehingga seakan-akan pula seseorang yang melakukan pembunuhan, tidak dikategorikan sebagai pelanggar HAM. Sementera, penegakan hukum dengan maksud untuk melindungi warga masyarakat dianggap sebagai melanggar HAM. Cara berpikir atau pendapat seperti ini menurut penulis berada di luar logika dan akal sehat dan alasan-alasan atau argumntasi yang dikemukakan adalah alasan atau argumnetasi klasik. Oleh karena itu, kita bangsa dan masyarakat Indonesia tidak perlu terpengaruh oleh pendapat para pakar hukum yang menentang penerapan hukuman mati. Penulis yakin jika pendapat ini dilontarkan oleh penganut muslim, maka cobalah introspeksi diri dan menyimak kembali pendapatnya, bertafakkur, lalu memohon hidayah kepada Allah SWT. karena Dialah yang memberikan hidayah kepada siapapun, asal kita mau memohon kepadaNya.

Hukuman Mati Tetap Harus Diterapkan.
Menerima atau menolak suatu pendapat dalam dunia demokrasi merupakan hak seseorang, namun unsur kehati-hatian dalam menerima dan menlak suatu pendapat adalah mutlak, khususnya bagi pakar hukum yang masih berjiwa Pancasila dan menjunjung tinggi nilai-nilai hukum yang ada dalam msyarakat, sebab hukuman mati adalah bagian dari hukum Islam, dan nilai-nilai hukum Islam yang dijalankan oleh mayoritas masyarakat Islam Indonesia telah membaur dan diterima oleh masyarakat non muslim sebagai suatu bentuk “keekaan”, sehingga perdebatan tentang hukuman mati sebetulnya tidak perlu. Mari kita terapkan hukuman mati, tetapi kita tidak perlu takut dengan hukuman mati itu, karena itu keharmonisan hidup harus tetap terpelihara dengan baik dengan menjalankan nilai-nilai agama, etika dan moral, artinya pula hukuman mati tidak mungkin kita jalani.. Jadi mengapa harus takut?