Rabu, 18 November 2009

SHALAWAT NARIYAH
Muhammad jamil Zainu
Diterjemahkan oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi (dikutip dari www.muslim.or.id)
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Shalawat Nariyah cukup populer di banyak kalangan dan ada yang meyakini bahwa orang yang bisa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat menghilangkan kesulitan-kesulitan atau demi menunaikan hajat maka kebutuhannya pasti akan terpenuhi. Ini merupakan persangkaan yang keliru dan tidak ada dalilnya sama sekali. Terlebih lagi apabila anda mengetahui isinya dan menyaksikan adanya kesyirikan secara terang-terangan di dalamnya. Berikut ini adalah bunyi shalawat tersebut:”
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب وحسن
الخواتيم ويستسقى الغمام بوجهه الكريم وعلى آله وصحبه عدد كل معلوم لك
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka
Artinya:
“Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”
Syaikh berkata:
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang di serunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah). Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik kepada para rasul ataupun para wali. Allah berfirman yang artinya:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. Al-Israa’: 57). Para ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang berdoa kepada Isa Al-Masih atau memuja malaikat atau jin-jin yang saleh (sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir).”
Beliau melanjutkan penjelasannya:
“Bagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan ikatan-ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal Al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya:
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raaf)
Pada suatu saat ada seseorang yag datang menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu wahai Rasul”, Maka beliau menghardiknya dengan mengatakan, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” Nidd atau sekutu artinya: matsiil wa syariik (yang serupa dan sejawat) (HR. Nasa’i dengan sanad hasan)
Beliau melanjutkan lagi penjelasannya:
“Seandainya kita ganti kata bihi (به) (dengan sebab beliau) dengan bihaa (بها) (dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan benar tanpa perlu memberikan batasan bilangan sebagaimana yang disebutkan tadi. Sehingga bacaannya menjadi seperti ini:
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد التي تحل بها العقد
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taamman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Allati tuhillu bihal ‘uqadu (artinya ikatan hati menjadi terlepas karena shalawat)
Hal itu karena membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah yang bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon dilepaskan dari kesedihan dan kesusahan. Mengapa kita membaca bacaan shalawat bid’ah ini yang hanya berasal dari ucapan makhluk biasa sebagaimana kita dan justru meninggalkan kebiasaan membaca shalawat Ibrahimiyah (yaitu yang biasa kita baca dalam shalat, pent) yang berasal dari ucapan Rasul yang Ma’shum?”
***
Penulis: Muhammad Jamil ZainuDiterjemahkan oleh Abu Mushlih Ari WahyudiArtikel www.muslim.or.id

Kamis, 12 November 2009

Kisruh Antara KPK,
Kepolisian Dan Kejaksaan
Akhir-akhir ini dunia hukum di Indonesia terkesan sangat kacau. Banyak kita membaca berita di media cetak serta mendengar dan melihat berita di media elektronika yang memberikan gambaran betapa buramnya hukum. Semua orang berbicara dan berpendapat tentang hukum, padahal ia bukan seorang ahli hukum, sehingga tidak heran kalau ada media elektonika yang mencoba mewawancarai orang awam untuk meminta pendapatnya tentang hal-hal di seputar hukum dan peradilan. Atau mungkin orang pintar tetapi tidak memahami hukum acara, sebagaimana diatur dalam KUHAP. Okelah, dalam dunia demokrasi dewasa ini, apalagi kita lagi dalam keadaan euforia demokrasi tidak ada salahnya orang membuat suatu statemen, namun harus diingat jangan hanya berpendapat atau membuat statemen, padahal pembuat statemen tersebut mungkin bukan ahli di bidang hukum. Coba anda banyangkan, kok ada artis atau kalangan rakyat awam diwawancarai masalah-masalah yang sebenarnya mereka tidak mengetahui ilmunya. Sebagai seorang muslim, saya perlu mengingatkan akan adanya sebuah hadits yang menyebutkan :
إذا وجد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
"suatu urusan yang diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya".
Hadits tersebut memberikan peringatan keras agar seseorang bekerja dan berpendapat sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Saya terkadang bingung, misalnya ada masalah hukum agama, tetapi diminta pendapat ke orang awam, sehingga seakan-akan hukum-hukum agama akan dilaksanakan, kalau semua orang setuju, kalau ada yang tidak setuju, maka hukum agama tersebut tidak boleh dilaksanakan. Misalkan masalah perkawinan antara agama, yang diwawancarai orang-orang awam, termasuk artis, padahal ruang lingkup perkawinan antar agama adalah para ahli hukum Islam.
Sekarang ini timbul kekisruhan atau dianggap perseteruan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan, dan kita melihat banyak orang yang dimintai pendapat, bahkan dibentuk komunitas facebooker untuk mendukung KPK.
Saya bukan orang yang mendukung atau tidak mendukung, karena yang saya dukung adalah kebenaran (hak). Siapa yang benar, ialah yang harus kita dukung. Lalu siapa yang benar ketika kasus ini timbul? Tidak ada yang bisa menjawab siapa yang benar, karena beberapa ahli hukum sendiri pun berbeda pendapat, dan anehnya ketika orang berpendapat sebaliknya dianggap sebagai pendukung, padahal orang yang berpendapat demikian adalah para pakar yang mengetahui dan memahami sistem hukum dan peradilan di Indonesia. Ingat, ini bukan hukum Allah, dan bukan pengadilan Allah, tetapi hukum Indonesia dan pengadilan Indonesia. Berarti sistem hukumnya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yang nota bene sebagian besar berasal dari hukum Belanda, bukan hukum Islam. kenapa kita mencaci maki sistem hukum kita sendiri, padahal kita sendiri dalam tanda kutip masih memilih hukum tersebut sebagai hukum yang harus dilaksanakan? Kalau Indonesia mau berubah, kembalilah kepada sistem hukum Islam, hukum Allah yang abadi yang tidak boleh direkayasa oleh siapa pun. Dan jika sistem hukum Islam dilaksanakan, maka kekisruhan seperti saat ini tidak akan terjadi, karena Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan sebagai pilar utama dalam menegakkan hukum. Sistem hukum Islam tidak akan mebeda-bedakan orang, meskipun yang kita adili adalah kaum kerabat kita ataupun musuh kita.
Dalam surah al-Nisah ayat 135, Allah SWT menegaskan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu”.
Juga di surah al-Maidah ayat 8 Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa".

Jadi dalam hukum Islam sangat menjunjung tinggi keadilan, walaupun seorang aparat hukum (polisi, jaksa dan hakim) berhadapan dengan kerabatnya sendiri ataupun orang dimusuhinya/dibenci.
Dengan demikian, sangat disayangkan orang-orang Indonesia masih memilih sistem hukum di luar sistem hukum Islam.
Bahkan Allah SWT mempertanyakan :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin”?
Pertanyaan Allah ini sekaligus memberikan gambaram bahwa tidak ada hukum yang paling baik, selain hukum Allah, sehingga seharusnya orang harus menerapkan hukum Islam sebagai satu-satunya alternative dalam menyelelesaikan problematika kehidupan manusia.

Rabu, 11 November 2009


MARI BERQURBAN


Sebentar lagi, kita akan merayakan idhul adhha. "Al-adhha" sendiri bermakna "penyembelihan", yang maksudnya adalah meyembelih hewan tertentu, yaitu sapi, kambing (domba), kerbau, unta, dan sejenisnya, yang terpenting binatang tersebut adalah hewan yang diternakkan dan halal dagingnya. Ayam dan bebek, meskipun halal dagingnya, tetapi ia tidak termasuk dalam kategori hewan yang dapat disembelih untuk ibadah qurban, tetapi bisa disembelih pada saat hari idul adhha, namun tidak termasuk dalam sebuah ibadah yang disyari'atkan oleh Islam.
Ada beberapa pendapat tentang hukum menyembelih hewan qurban, namun menurut saya pendapat yang lebih tepat adalah pendapat sebagian Ulama Hanafiah, yaitu hukumnya wajib bagi orang yang mampu, karena secara tegas Rasulullah SAW bersabda :
من كان له سعة فلم يضح فلا يقربن مصلانا
"Barang siapa yang mempunyai kemampuan untuk berqurban, tetapi tidak menyembelih hewan qurban, maka hendaklah ia tidak mendekati tempat sholat kami"
Hadits tersebut secara tegas mencela siapa saja di kalangan orang-orang Islam yang berkemampuan, tetapi tidak mau menyembelih hewan qurban.
Islam sangat memperhatikan hubungan sosial di antara manusia, sehingga meskipun ibadah penyembelihan hewan qurban adalah untuk memenuhi perintah Allah SWT., tetapi sesungguhnya manfaat ibadah tersebut kembali kepada kemaslahatan manusia, sehingga Islam itu benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Allah SWT berfirman :
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
"Kami tidak akan mengutus engkau (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta".
Berkenaan dengan itu, ketika ada orang yang mengamalkan ajaran Islam dengan cara kekerasan, maka hal itu bukanlah termasuk dari ajaran Islam yang sebenarnya, karena Islam diturunkan untuk menjadi rahmat, bukan menjadi laknat. Memang dalam al-Qur'an terdapat firman Allah yang berbunyi :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُم
"Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya adalah senantiasa bersikap keras (tegas) terhadap orang-orang kafir dan bersikap saling menyayangi di antara mereka" (Q.S. Al-Fath : 29).
Akan tetapi keras (tegas) di sini dalam artian bukan dalam berdakwah, tetapi dalam upaya menegakkan amar makruf dan nahi munkar, serta menegakkan hukum dan keadilan. Jadi seorang muslim harus tegas menyatakan yang hak/benar adalah hak/benar dan yang bathil/salah adalah bathil/salah, sudah tentu melalui koridor atau cara-cara yang dapat dibenarkan menurut Syari'at. Bahkan dalam hal ini, kita diajarkan sebuah doa yang berbunyi :
اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه
"Ya Allah perlihatkanlah kepada kami bahwa yang hak itu adalah hak, dan berikanlah kekuatan kepada kami untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami yang bathil itu bathil, dan berikanlah kekuatan kepada kami untuk menjauhinya".
Dalam konteks ini sebagai seorang muslim harus menjadi contoh teladan sebagai seorang penegak kebenaran tanpa harus takut akan tekanan dari mana pun dan oleh siapa pun, karena seorang Islam hanya takut kepada Allah.
Oleh karena itu, dengan memahami Islam secara kaffah, kemudian mengamalkannya, akan memberikan manfaat bagi dirinya dan bagi diri orang lain. itulah sebabnya di dalam ibadah seperti ibadah qurban akan terasa manfaatnya bagi orang lain, karena daging dari hewan yang disembelih tersebut akan dibagikan kepada kaum fuqara dan masakin, bahkan diperbolehkan di kalangan non muslim pun bisa dibagikan, jika ia berada di sekeliling kita. Memang Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam, jika semua orang Islam mengamalkan Islam secara kaffah. Marilah kita berqurban untuk kemaslahatan bersama, membangun bangsa yang mandiri, membangun jiwa yang suci, ikhlas dalam beribadah, jauh dari sikap riya, sehingga menjadi orang-orang yang beruntung dan bahagia dunia dan akhirat.